Dera Panjang Agista Ariani Ali Mazi

SEKAR KEDATON, sangatlah sesuai dengan wujudnya yang memang anggun. Itulah Agista Ariani Ali Mazi yang punya alasan untuk gelisah. Mendapatkan suami seorang pengacara terkenal sekaligus politisi membuat Agista layak cemas. Ada emban sekaligus harap yang menjadi satu.

Tibalah sebuah pepatah dibalik lelaki mapan ada seorang wanita matang. Pepatah ini telah menjadi prototip seorang wanita modern tuk acap kali menyediakan diri untuk lelaki-nya. Tak lebih. Agista Ariani Ali Mazi, adalah nyonya dari seorang Gubernur Sulawesi Tenggara tempo 2003 hingga 2008.

Menjadi seorang wanita yang memiliki suami seorang politisi bukanlah perkara yang mudah, tak hanya membekali diri dengan sabar, tetapi mesti juga memiliki mental wonder women sekaligus sikap kelembutan di saat yang bersamaan. Dan itulah ibu Agista.

Seorang ibu yang mampu mendampingi Ali Mazi di tengah kesibukannya sebagai seorang politisi, yang mendampingi tak hanya saat tenang tetapi juga dalam badai. Betapa kuatnya seorang wanita seperti itu buatku. Hal yang mesti menjadi renungan bagi seorang wanita yang memiliki lelaki seorang politisi. Karena menjadi istri politisi bak bekerja dalam kemewahan yang penuh duri bahkan seseringnya berjalan di jalan sunyi. Menempatkan diri diantara tahta dan angkara.

Belum lama saya mengutip pesan di status di media sosialnya, Agista berungkap:

“Mumpung lagi sakit aktivitas berkurang boleh dong main medsos .. bikin status yaa dan yg baca jangan baper or tersinggung… politik itu dinamis ternyata saya baru tau setelah mempelajarinya bukan menjalani karena saya bukan org politik .. yg menjalaninya adalah suami alias juragan tanah berhubung kami tinggal bersama jadi lah saya pengamat .. yg terlintas dipikiranku adalah suami kU istri pertamanya adalah politik itu sendiri .. begitu banyak biaya di habiskan hanya untuk si politik ini sampai istrinya sendiri pun di abaikan di taruh di nomor sekian .. se andainya dalam diriku ini tidak melekat istri mantan gubernur dgn anak anak nya ingin kU tinggalkan juraganku ini biar dia nikah dan berumah tangga dgn si politik ini .. skrg si politik lagi yg mengganggu pergi terus ninggalin anak istri .. sementara sebagian org suka sama si politik ini dan sebagian lagi iri dan dengki dan sebagian lagi marah kesel .. jadi asal tau ajha rasa sebagian org yg kesel dan Ga suka sama si politik ini sama rasa nya seperti yg kurasakan .. tapi karena menimbang segala hak dan kewajiban istri pada akhir nya saya harus rela berbagi dgn si politik ini .. semoga yg sekarang ini si politik bisa membawa berkah kebaikan bagi kita semua .. menjadi gubernur jalan nya panjang dan berliku setelah terpilihpun harus hati hati karena bila salah jalan pun ada nya ke prodeo .. dgn niat yg tulus membangun Utk daerah tanpa niat memperkaya diri InsyaAllah jalan nya akan AMAN dan damai asalkan selalu menyelipkan Allah disetiap tarikan nafas kita .. rejeki itu sudah di atur oleh yg maha kuasa .. kita hanya berusaha dgn cara cara yg baik yg sudah si contohkan oleh rasul kita dan pendahulu kita .. dan setiap org berhak untuk ikut dalam pertarungan tanpa adanya saling hujat dan saling menggembosi karena kita bukan hidup di zaman devide at impera tapi kita hidup di zaman millenium dimana masyarakat bisa langsung menjadi CCTV .. kami pun bukan org suci dan baik tapi setidaknya kami tidak menzalimi org dan berbuat tidak baik kepada mereka seandai hal itu ada yg terjadi itu diluar kesadaran karena pada dasarnya kita manusia .. mari bertarung dalam memperebutkan si politik yg diibaratkan wanita cantik, Sexi dan menggoda .. tapi awas salah memperlakukan dia akan balik menindas”.

Saya menakar, status itu adalah sebuah dera panjang dari seorang Agista yang dituangkan dalam tulisan pendek, sebuah kontemplasi panjang bersama Ali Mazi, bahwa menjadi istri seorang politikus adalah bukan perkara yang mudah, disamping ada beberapa pesan mendalam lagi yang mesti dicermati. Sebuah pesan sarat makna.

Saya kagum kepada Agista, dan yang saya tahu dengan pasti di halaman akhir ia ingin menyampaikan bahwa Ali Mazi tak hanya miliknya tetapi telah menjadi milik masyarakat Sulawesi Tenggara.

 

 

 

Tinggalkan komentar